Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat Islam, adalah sosok yang menggabungkan kecerdasan filosofis seorang ilmuwan dengan keberanian seorang ksatria legendaris. Hidupnya penuh dengan drama, mulai dari dibesarkan di rumah kenabian hingga syahid di mihrab.
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Beliau lahir di Mekkah, sepuluh tahun sebelum kenabian diumumkan. Uniknya, Ali dilahirkan di tempat paling mulia di dunia, yaitu di dalam Ka’bah, yang menunjukkan keistimewaan sejak dini.
Ali memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam keluarga Nabi Muhammad ﷺ. Beliau adalah sepupu Nabi, yang sekaligus menjadi menantu karena menikah dengan putri kesayangan Nabi, Fatimah Az-Zahra.
Sejak kecil, Ali diasuh langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ dan istrinya, Khadijah, karena Abu Thalib (ayah Ali dan paman Nabi) adalah seorang yang miskin. Inilah yang membuat Ali menjadi pribadi yang paling dekat dan paling memahami ajaran Nabi. Beliau mendapatkan gelar Asadullah (Singa Allah) atas keberaniannya yang luar biasa di medan perang, dan Babul Ilmi (Gerbang Ilmu) atas kecerdasan dan pemahaman mendalam tentang Islam.
Masa jahiliyah (kebodohan) bagi Ali sangatlah singkat. Ali termasuk anak-anak pertama yang memeluk Islam, bahkan sering disebut sebagai anak pertama yang mengimani risalah Muhammad ﷺ, segera setelah Khadijah. Karena usianya yang masih sangat muda—sekitar sepuluh tahun—ia tidak terlibat dalam kebiasaan buruk masyarakat jahiliyah.
Keislamannya terjadi secara alami dan tanpa ragu, karena ia tumbuh besar di bawah bimbingan langsung Nabi. Berada di lingkungan rumah Nabi, Ali secara langsung menyaksikan wahyu turun dan mendengarkan ajaran Islam pertama kali, menjadikannya gudang ilmu dan rahasia agama.
Kehidupan Ali bersama Nabi Muhammad ﷺ adalah kisah keberanian dan kesetiaan yang tak tertandingi.
Ketika kaum Quraisy berencana membunuh Nabi, Ali memainkan peran heroik. Atas perintah Nabi, Ali dengan berani tidur di ranjang Nabi sambil mengenakan selimut hijaunya, seolah-olah Nabi masih tidur di sana. Tindakan ini berhasil mengelabui para pengepung Quraisy, memberi waktu bagi Nabi untuk hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, dan menunjukkan pengorbanan nyawa yang tertinggi demi keamanan Rasulullah.
Di Madinah, Ali menjadi panglima perang termuda yang paling ditakuti. Keberaniannya di medan Badar, Uhud, Khandaq (Ahzab), dan Khaibar adalah legenda.
Perang Khandaq: Ali menjadi pahlawan dengan berhasil mengalahkan juara Quraisy yang tak tertandingi, Amr bin Abdu Wudd, dalam duel yang menentukan nasib peperangan.
Perang Khaibar: Nabi menyerahkan bendera komando kepada Ali, yang saat itu menderita sakit mata. Setelah Nabi menyembuhkannya dengan ludahnya, Ali berhasil memimpin penaklukan benteng Khaibar yang sangat kokoh.
Ali adalah suami dari Fatimah, dan ayah dari cucu kesayangan Nabi, Hasan dan Husain. Ikatan darah dan pernikahan ini menjadikannya bagian tak terpisahkan dari Ahlul Bait. Ali tidak hanya dikenal karena kekuatannya, tetapi juga kecerdasannya. Nabi pernah bersabda: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya.” Ali dikenal sebagai hakim, ahli fikih, dan orator ulung di kalangan sahabat.
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35 H (656 M), menggantikan Utsman bin Affan yang syahid. Namun, masa kepemimpinan beliau selama hampir lima tahun adalah masa paling bergejolak dan penuh konflik dalam sejarah Islam awal, dikenal sebagai Masa Fitnah Kubra (Ujian Besar).
Pengangkatan yang Kontroversial: Ali dilantik dalam suasana yang tegang dan kacau pasca pembunuhan Utsman. Beliau menghadapi tantangan berat karena menolak menindak para pembunuh Utsman sebelum stabilitas negara pulih.
Perang Saudara (Fitnah Kubra): Kepemimpinan Ali langsung diuji oleh dua peperangan saudara yang menyedihkan:
Perang Jamal (Unta) - 36 H: Ali harus berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan terutama Aisyah (Istri Nabi), yang menuntut balas atas darah Utsman.
Perang Shiffin - 37 H: Ali berperang melawan Muawiyah bin Abi Sufyan (Gubernur Syam), yang menolak mengakui kekhalifahannya dan juga menuntut balas kematian Utsman. Peperangan ini berakhir dengan Arbitrase (Tahkim) yang justru memecah belah pendukung Ali menjadi kelompok Khawarij.
Kemunculan Khawarij: Kelompok Khawarij adalah mantan pendukung Ali yang menolak hasil arbitrasi Shiffin, menganggapnya bertentangan dengan hukum Allah. Mereka kemudian menjadi musuh utama Ali dan menantang kekuasaannya, yang memuncak dalam Perang Nahrawan.
Memindahkan Ibukota: Ali memindahkan pusat pemerintahan Kekhalifahan dari Madinah ke Kufah (Irak), yang menjadi basis pendukung utamanya dan pusat pergerakan politik di masa itu.
Kehidupan Ali yang dipenuhi perjuangan berakhir dengan tragis. Beliau wafat sebagai syuhada pada Ramadhan 40 H (661 M). Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam saat sedang memimpin shalat Subuh di Masjid Kufah. Ia syahid dua hari kemudian, dalam usia sekitar 63 tahun. Wafatnya Ali menutup era Khulafaur Rasyidin dan membuka lembaran baru dinasti-dinasti Islam.
Keberanian dan Ksatria: Ali adalah lambang keberanian fisik dan mental, tidak pernah gentar di medan perang dan selalu memegang teguh kehormatan seorang ksatria.
Kecintaan pada Ilmu: Beliau dikenang sebagai sarjana Islam sejati, ahli dalam bidang fikih, tata bahasa Arab (dialah yang meletakkan dasar ilmu Nahwu), dan tafsir Al-Qur'an.
Zuhud dan Sederhana: Meskipun memegang tampuk kekhalifahan yang membentang luas, Ali hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan yang ekstrem. Beliau menolak mengambil kekayaan dunia, bahkan menambal sendiri pakaian dan sepatunya.
Keadilan yang Teguh: Dalam keadaan paling sulit pun, Ali tetap berusaha menerapkan keadilan, bahkan kepada musuhnya sekalipun, menjadikannya panutan dalam kepemimpinan yang berlandaskan prinsip.