Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka'ab, namun kita mengenalnya dengan sebutan Abu Bakar (ayah dari Bakar). Beliau dilahirkan di Mekkah sekitar tahun 573 Masehi, sekitar dua setengah tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Garis keturunan beliau berasal dari kabilah Bani Taim, salah satu cabang terhormat dari suku Quraisy, dan nasabnya bertemu dengan Nabi pada kakek bernama Murrah bin Ka'ab.
Di antara gelar yang paling melekat pada dirinya adalah Ash-Shiddiq, yang secara harfiah berarti "Yang Membenarkan". Gelar mulia ini dianugerahkan langsung oleh Rasulullah ﷺ atas keteguhan imannya. Saat kebanyakan orang meragukan peristiwa Isra' Mi'raj, Abu Bakar adalah orang pertama yang tanpa ragu sedikit pun membenarkan peristiwa luar biasa tersebut. Gelar ini mencerminkan integritas dan keyakinan beliau yang tidak tergoyahkan.
Sebelum fajar Islam terbit, Abu Bakar adalah seorang tokoh yang terpandang dan disegani di Mekkah. Beliau adalah saudagar kaya yang sukses dan jujur. Berkat kecerdasan dan keterampilannya dalam berdagang, beliau memiliki harta melimpah dan reputasi yang sangat baik. Menariknya, Abu Bakar termasuk golongan yang terpelajar; beliau adalah salah satu dari sedikit orang di Mekkah pada masa itu yang mampu membaca dan menulis.
Selain kemahirannya dalam berniaga, beliau juga dikenal sebagai pakar nasab (silsilah) suku-suku Arab, sehingga sering dijadikan rujukan dalam penyelesaian perselisihan antar kabilah. Meskipun hidup di tengah masyarakat jahiliah, Abu Bakar memiliki akhlak yang tinggi. Beliau menjauhi kebiasaan buruk seperti meminum khamr dan tidak pernah bersujud kepada berhala. Yang terpenting, beliau telah menjalin persahabatan yang erat dan tulus dengan Muhammad bin Abdullah sejak masa kecil, sebuah ikatan yang kelak akan mengubah sejarah peradaban.
Hubungan persahabatan yang telah terjalin lama menjadikan Abu Bakar sebagai orang pertama yang menerima seruan kenabian. Beliau menjadi lelaki dewasa merdeka pertama yang memeluk Islam, menempatkannya pada posisi terdepan di antara Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam).
Sejak saat itu, seluruh hidup Abu Bakar didedikasikan untuk perjuangan Islam. Beliau tidak hanya mendukung dakwah dengan pengaruhnya, tetapi juga dengan seluruh harta kekayaannya. Beliau membebaskan banyak budak yang disiksa majikannya karena memeluk Islam, yang paling legendaris adalah Bilal bin Rabah. Berkat dakwahnya yang lembut dan persuasif, banyak tokoh terkemuka Quraisy yang kemudian menyusul masuk Islam di bawah bimbingannya.
Puncak kesetiaan dan pengorbanannya terjadi pada tahun 622 M. Ketika kaum Muslimin diperintahkan untuk Hijrah, Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang menemani Nabi Muhammad ﷺ dalam perjalanan berbahaya ke Madinah. Kisah heroik mereka bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari diabadikan dalam Al-Qur'an dan menjadi bukti nyata persahabatan yang tulus.
Di Madinah, beliau terus menjadi penasihat utama dan sahabat terdekat Rasulullah ﷺ, selalu mendampingi dalam setiap momen penting, baik dalam peperangan seperti Badar dan Uhud, maupun dalam perjanjian damai seperti Hudaibiyah. Jelang wafatnya, isyarat kepemimpinan masa depan diberikan oleh Nabi ﷺ dengan menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat, sebuah kehormatan dan pengakuan akan kedudukannya yang paling utama di antara para sahabat.
Wafatnya Rasulullah ﷺ pada tahun 11 H (632 M) merupakan guncangan terbesar bagi umat Islam. Dalam kekosongan kepemimpinan yang kritis, melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah, umat Islam bersepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah pertama, dengan gelar Khalifatu Rasulillah (Pengganti Rasulullah).
Masa kepemimpinan beliau yang singkat (hanya sekitar dua tahun tiga bulan) dipenuhi dengan ujian yang sangat berat dan menentukan nasib Islam:
Menghadapi Gerakan Murtad (Perang Riddah): Segera setelah wafatnya Nabi, banyak suku di Jazirah Arab yang kembali murtad, menolak membayar zakat, dan mengikuti nabi-nabi palsu. Abu Bakar menunjukkan ketegasan dan keberanian yang luar biasa. Beliau bersumpah untuk memerangi semua pihak yang menyeleweng dari ajaran Islam, bahkan bersikap lebih keras daripada Umar bin Khattab yang dikenal tegas. Puncak perjuangan ini adalah Perang Yamamah melawan Musailamah Al-Kadzdzab.
Pengumpulan Al-Qur'an: Perang Riddah merenggut banyak nyawa para penghafal Al-Qur'an (Huffazh). Atas inisiatif Umar bin Khattab dan persetujuan Abu Bakar, beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek pengumpulan dan penulisan seluruh Al-Qur'an ke dalam satu mushaf. Tindakan monumental ini adalah jasa tak terhingga beliau dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Kitab Suci umat Islam.
Memulai Ekspansi Islam: Setelah stabilitas internal Jazirah Arab pulih, Abu Bakar mengirimkan pasukan untuk berhadapan dengan dua kekuatan adidaya saat itu: Kekaisaran Bizantium di Syam dan Kekaisaran Persia di Irak. Penaklukan awal ini berhasil dan meletakkan fondasi militer bagi perluasan wilayah Islam di masa depan.
Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat pada tanggal 23 Agustus 634 M dalam usia 63 tahun, setelah sebelumnya mewasiatkan kepada Umar bin Khattab untuk menggantikannya. Beliau dimakamkan di sisi makam Rasulullah ﷺ di Masjid Nabawi.
Warisan terbesar beliau bukanlah kekayaan materi, melainkan keteladanan akhlak dan kepemimpinan:
Zuhud dan Sederhana: Meskipun memimpin sebuah negara, beliau menolak hidup mewah. Setelah menjadi khalifah, beliau tetap hidup sangat sederhana dan tidak meninggalkan warisan harta benda yang berlimpah, melainkan mengembalikan sisa hartanya ke Baitul Mal.
Keimanan yang Murni: Gelar Ash-Shiddiq bukan sekadar julukan, melainkan cerminan keimanan yang selalu membenarkan Rasulullah ﷺ dalam segala situasi, menjadikannya sahabat yang paling utama.
Tanggung Jawab Kepemimpinan: Beliau memimpin dengan penuh tanggung jawab, menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam menghadapi krisis terbesar yang mengancam eksistensi Islam, sehingga beliau dijuluki sebagai penyelamat umat setelah wafatnya Nabi.
Kasih Sayang dan Kelembutan: Meskipun tegas, beliau dikenal sangat penyayang dan berhati lembut. Kelembutannya ini membuatnya dijuluki Al-Awwah (yang banyak berkeluh kesah/beriba hati).